Sabtu, 09 Juni 2012

 “Sentono Boto Putih” ~ Kiyahi Ageng Brondong ~


Pangeran Lanang Dangiran Kiyahi Ageng Brondong.
Kang Sumareh Ing Pesarehan “Sentono Boto Putih” Surabaya

Kiyahi Ageng Brondong memiliki keturunan Raden Tumenggung Panji Tjokronegoro I, Bupati Sidoarjo yang pertama, diambil dari silsilah pangeran Lanang Dangiran Kyai Ageng Brondong kang sumareh ing pesarehan sentono Botoputih Surabaya.

Riwayat Hidup Kiyahi Ageng Brondong Botoputih Suroboyo

Konon dituturkan Pangeran Kedawung, disebut juga Sunan Tawangalun adalah raja di Blambangan atau dikatakan juga Bilumbangan. Beliau mempunyai 5 orang anak dan diantaranya ialah pangeran Lanang Dangiran. Diceritakan bahwa Lanang Dangiran pada usia 18 tahun bertapa dilauy dan menghanyutkan dirinya diatas sebuah papan kayu sebuah beronjong (alat penangkap ikan), tanpa makan atau minum, arus air laut dan gelombang membawa Lanang Dangiran hingga dilaut jawa dan akhirnya suatu taufan dan gelombang besar melemparkan Lanang Dangiran dengan beronjongnya dalam keadaan tidak sadar, disebabkan karena berbulan-bulan tidak makan dan minum, dipantai dekat Sedayu.

Seluruh badannya telah dilekati oleh karang, keong serta karang-karang (remis) sehingga badan manusia itu seolah-olah ditempeli dengan bakaran jagung yang disebut dengan bahasa jawa “Brondong” Badan Pangeran Lanang Dangiran diketemukan oleh seorang kiyahi yang bernama Kiyahi Kendil Wesi. Pangeran Lanang Dangiran dirawat oleh Kiyahi Kendil Wesi serta istrinya dengan penuh kasih sehingga sadar kembali dan akhirnya menjadi sehat seperti sediakala.

Pangeran Lanang Dangiran menceritakan asal-usulnya kepada Kiyahi Kendil Wesi. Setelah Kiyahi Kendil Wesi mendapat keterangan tentang asal usulnya Pangeran Lanang Dangiran, maka diceritakan oleh Kiyahi tadi bahwa ia juga asal keturunan dan raja-raja di Blambangan yang bernama Menak Soemandi dimana beliau masih satu keturunan dengan Lanang Dangiran.

Lanang Dangiran tinggal dan kumpul dengan Kiyahi Kendil Wesi, dan dianggap sebagai anaknya kiyahi sendiri. Pangeran Lanang Dangiran memeluk agama Islam, karena rajin dan keteguhan imannya serta keluhuran budinya serta kesucian hatinya, maka tidak lama pula ia dapat tampil kemuka sebagai guru Agama Islam, Pangeran Lanang Dangiran berisitrikan putrid dan Ki Bimotjili dan Panembahan di Cirebon yang asal usulnya dituliskan sebagai berikut :
Pangeran Kebumen Bupati Semarang, berisitrikan putrid dan Sultan Bojong, bernama Prabu Widjaja (Djoko Tingkir). Ki Bomotjili adalah salah satu seorang putra dan Pangeran Kebumen tersebut diatas, seorang putri dan Ki Bimotjilimi bersuamikan Pangeran Lanang Dangiran alias Kiyahi Brondong (dimakamkan di Boto Putih).

Nama Brondong diperoleh karena ia diketemukan oleh Kiyahi Kendil Wesi badannya dilekati dengan “Brondong” Kiyahi Kendil Wesi yang waspada dan mengetahui nasib seseorang, mengatakan kepada Lanang Dangiran yang sudah mendapat sebutan Kiyahi Brondong dan masyarakat sekitar tempat Kiyahi Kendil Wesi, supaya pergi ke Ampel Dento Suroboyo, dan meluaskan ajaran Agama Islam, karena di Surabaya Kiyahi Brondong kelak akan mendapat kebahagiaan serta turun temurunnya kelak akan timbul dan tambah menjadi orang-orang yang mulya.

Kemudian Kiyahi Brondong dengan istrinya dan beberapa anaknya yang masih kecil pergi ke Surabaya dan pada Tahun 1595 menetap diseberang timur kali Pegiri’an, dekat Ampel ialah Dukuh Boto Putih (Batu Putih) ditempat baru inilah Kiyahi Brondong mendapatkan martabat yang tinggi dan masyarakat, karena keluhuran budinya Kiyahi Brondong (pangeran Lanang Dangiran) wafat pada tahun 1638 dalam usia + 70 tahun dan meninggalkan 7 orang anak, diantaranya 2 orang laki-laki yaitu : Honggodjoyo dan Honggowongso.

Bupati Sidoarjo yang pertama adalah keturunan dan Honggodjoyo, Kiyahi Ageng Brondong (Pangeran Lanang Dangiran) dikebumikan ditempat kediamannya sendiri di Botoputih Surabaya makamnya dimulyakan oleh putra-putranya dan selanjutnya dihormati oleh turun-turunnya hingga kini. Semoga arwah beliau diterima Allah Swt, dan Allah Swt juga memberikan kepada seluruh keturunannya Kiyahi Ageng Brondong kemulyaan, kesehatan dan kesejahteraan sebagaimana beliau senantiasa mendoakan cucu cicitnya selama hidupnya.

Ada hal penting yang anda ketahui bahwa bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Sidoarjo, pejabat Pemerintah Kabupaten Sidoarjo beserta rombongan merupakan agenda rutin berkunjung ke :
Pesarean Asri ing Pendem untuk nyekar ke makam Bupati pertama Sidoarjo Raden Tumenggung Panji Tjokronegoro I wafat tahun 1863
Ke Pesarehan keluarga Tjondronegoro (belakang masjid Djamik/ Agung Sidoarjo) nyekar Raden Adipati Aryo Panji Tjondronegoro I wafat tahun 1906
Langsung menuju Pesarehan Boto Putih Surabaya ke makam Raden Tumenggung Adipati Aryo Tjondronegoro II (Kanjeng Djimat Djokomono).

Kerajaan Airlangga dan Cikal Bakal Majapahit

Cerita tentang kejayaan kerajaan Airlangga dan cikal bakal asal, asal usul berdirinya kerajaan Mojopahit terkait geografi Kabupaten Sidoarjo. Kabupaten Sidoarjo dikenal nama Kota Delta merupakan daerah yang dikurung sungai besar yakni sungai Porong dan Brantas ditambah sejumlah anak sungai kecil dan sedang mengalir di sejumlah daerah wilayah kabupaten Sidoarjo. Dengan kondisi demikian Sidoarjo termasuk kawasan pertanian yang subur termasuk penghasil polowijo dan memiliki banyak dermaga sungai dan laut pada waktu itu. Menurut cerita sejarah, Sidoarjo termasuk wilayah pemetaan kekuasaan kerajaan Airlangga yang memerintah di Jawa Timur tahun 1028-1042 dan sebagai wilayah cikal bakal berdirinya kerajaan Mojopahit pada pemerintahan R. Widjaja tahun 1293-1309.

Sejarah kejayaan Airlangga mengisahkan, sejak berkuasa di Jawa Timur sejak 1028 menunjukkan sebagai sosok seorang raja yang arif bijaksana, berhasil memajukan bidang pertanian/ perkebunan dan perniagaan/ perdagangan serta menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan diluar pulau Jawa. Sebagai raja yang disegani dan dihormati mampu menciptakan ketentraman, ketertiban artinya tidak ada perang atau kekacauan dikawasan kekuasaannya, hal ini sesuai nama Pusat Kerajaan yakni Kahuripan yang artinya “sumber hidup bahagia”.

Raja Airlangga dilingkungan rakyatnya sangat memperhatikan kerukunan umat beragama, pendeta, petapa dan brahma untuk dilindungi dan disatukan dengan kegiatan kraton. Kegiatan ritual keagamaan dilingkungan dan diluar kraton prabu Airlangga menyempatkan diri untuk menghadirinya, sehingga banyak menanamkan simpatik atas kewibawaan sang prabu sebagai panutan masyarakat sekitarnya.

Ketika ditengah kesibukan menjalankan pemerintahan, sang raja Airlangga dihadapkan permasalahan keluarga kraton karena putrid mahkota kerajaan Dewi Kilisutji tidak bersedia mewarisi tahta kerajaan. Bahkan kabarnya Dewi Kilisutji tidak bersedia mewarisi tahta kerajaan. Bahkan kabarnya Dewi Kilisutji meninggalkan istana untuk bertapa di Paguwat lereng gunung Penanggungan. Tinggal dua putra kerajaan yang terpaksa harus menggantikan kedudukan sebagai raja. Raja Airlangga tidak bias menyerahkan begitu saja kepada salah satu putra mahkota, karena dikhawatirkan akan timbul perpecahan antar saudara yang nantinya saling berebut kekuasaan.

Untuk mencari jalan keluar yang adil dan bijaksana, raja Airlangga atas nasehat para pendeta kerajaan untuk menyerahkan permasalahan tersebut sepenuhnya kepada Empu Bharada yakni seorang Brahmana yang dipandang ahli dan jujur. Jalan yang ditempuh adalah memberi kekuasaan kerajaan di dua wilayah, yakni kerajaan Daha (Kediri) dan kerajaan Djenggala (Sidoarjo) pada tahun 1042. Setelah membagi dua wilayah kerajaan dan menyerahkan kekuasaan kepada kedua putra mahkota, baginda raja Airlangga turun tahta untuk menjadi petapa dan tidak lagi mengurus jalannya pemerintahan kerajaan. Pada tahun 1049 baginda Airlangga wafat, jasadnya dibakar (diperabukan) yang abunya disimpan di sebuah candi didekat desa Belahan sekitar lereng Gunung Penanggugan.

Dalam perjalanan sejarah permerintahan kerajaan kedua putra mahkota bukanlah tercipta kerukunan kedua belah pihak seperti harapan baginda raja Airlangga, tetapi justru saling mempermasalahkan wilayah yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, yang semata untuk memenuhi kebutuhan kemakmuran rakyatnya masing-masing. Kerajaan Daha (Kediri) menguasai dan memiliki area tanah pertanian dan perkebunan yang luas, tanahnya yang subur penghasil penghasil polowijo terbesar yang sangat dibutuhkan pasar rakyat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tetapi karena geografi wilayah tidak mempunyai Bandar pelabuhan niaga untuk menyalurkan dan memasarkan hasil bumi ke daerah lain antar pulau, yang terjadi menumpukan hasil bumi dipasar local berlebihan. Sedang kerajaan Djenggolo (Sidoarjo) sebagai daerah Delta yang dikurung sungai besar dan beberapa wilayah dialiri banyak anak sungai mengalir ke timur laut, banyak dermaga atau pelabuhan niaga besar dan kecil sebagai terminal transit mengangkut hasil bumi antar daerah bahkan sampai keluar pulau Jawa. Tetapi karena tata geografis, Djenggolo tidak banyak memiliki lahan pertanian atau perkebunan untuk diperdagangkan sampai keluar pulau Jawa.

Kondisi kedua wilayah yang berbeda tak berimbang inilah menjadi pemicu “perang saudara” tahta pewaris kerajaan Airlangga. Kedua belah pihak saling memperebutkan dan berusaha menguasai wilayah. Untuk meredam pertikaian antar saudara yang berkepanjangan, atas prakarsa Empu Bharada mempertemukan Putra Mahkota kerajaan Djenggolo yakni Raden Pangeran Asmorobangun dengan Putri Mahkota Kediri, Dewi Sekartadji sebagai permaisuri. Tetapi upaya ini tidak menghasilkan perubahan; kerajaan Daha (Kediri) masih tetap bersikukuh menuntut untuk memiliki pelabuhan niaga yang berada dipesisir uatara laut wilayah kerajaan Jenggolo. Perang saudara terulang kembali terjadi, kali ini kerajaan Daha (Kediri) mengirimkan bala tentara secara besar-besaran ke wilayah kerajaan Jenggolo (Sidoarjo) yang berakhir kekalahan Jenggolo dan kerajaan Daha (Kediri) dapat menyatukan kembali wilayah kedua kerajaan warisan raja Airlangga.

Menurut catatan sejarah, lebih dari dua abad kemudian di daerah Delta Brantas (dulu kerajaan Djenggolo) muncul cikal bakal kerajaan baru. Waktu itu kota kerajaan Singosari pada tahun 1292 diserang mendadak oleh bala tentara Djajakatwang dari Kediri. Akibat peperangan tersebut, raja Kertanegara (raja Singosari) meninggal dalam pertempuran bersama Patih serta beberapa pendeta kerajaan Singosari.

Pada waktu terjadi penyerangan, R. Widjaja putra menantu raja Kertanegara dapat menyelamatkan diri bersama sejumlah pengikutnya (kerabat kraton) lolos dari pengepungan tentara Kediri. Dengan bantuan kepala desa Kudadu sampailah R.Widjaja melarikan diri ke Madura untuk mendapatkan perlindungan dan bantuan dari Adipati Sumenep, Banjakwide alias Wiraradja.

Kemudian Adipati Sumenep Wiraradja menyarankan R.Widjaja untuk pergi mengabdi ke Djajakatwang (raja Kediri). Saran untuk mengabdi ini dilakukan atas pertimbangan karena R. Widjaja hanyalah sebagai putra menantu. Oleh karena itu, R. Widjaja dianugerahi sebidang tanah kosong terletak didesa Tarik kawasan Delta Brantas wilayah Sidaorjo. Konon cerita, atas bantuan orang-orang yang didatangkan dari Madura tanah kosong itu dibuka untuk dijadikan sebuah desa dan tanah yang subur diolah sebagai lahan pertanian dan perkebunan. Karena lahan tersebut sebelumnya banyak ditumbuhi pohon Modjo yang rasanya pahit, kemudian desa tersebut dinamakan desa Mojopahit.

Desa inilah yang menjadi cikal bakal kerajaan baru: Modjopahit. Selanjutnya di daerah Trowulan (Mojokerto) sebagai pusat kerajaan. R. Widjaja mulai memerintah sebagai Raja Modjopahit yang pertama dengan gelar Kertaradjasa Djajawardana memerintah pada tahun 1293 sampai tahun 1309.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar